Wednesday, June 1, 2011

KOTA YOGYAKARTA PASCA KEMERDEKAAN



DAFTAR ISI

BAB I       PENDAHULUAN

BAB II     KOTA YOGYAKARTA PASCA KEMERDEKAAN
1.      Letak Geografis Kota Yogyakarta
2.      Latar Belakang Pendirian  Kota Yogyakarta
3.      Perkembangan Permukiman  menuju Pluralitas Penduduk Kota Yogyakarta
4.       Masa Sebelum Merdeka
5.       Masa Pasca Merdeka
6.      Perkembangan Kota Yogyakarta, 1900–1968 (Masalah Pemekaran Fisik Kota)

BAB III KESIMPULAN




PENDAHULUAN

Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki luas sekitar 3.186 Km2 dan dikenal sebagai tujuan wisata kedua setelah Bali. Berbagai jenis obyek wisata dikembangkan di wilayah ini, seperti wisata alam, wisata sejarah, wisata budaya, wisata pendidikan termasuk wisata pedesaan. Sebutan kota perjuangan untuk kota ini berkenaan dengan peran Yogyakarta dalam konstelasi perjuangan bangsa Indonesia pada jaman kolonial Belanda, jaman penjajahan Jepang, maupun pada jaman perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Antara awal tahun 1946 sampai akhir tahun 1949, selama lebih kurang empat tahun, Yogyakarta menjadi Ibukota Negara RI. Pada masa itu para pimpinan bangsa Indonesia berkumpul di kota perjuangan ini.

Seperti layaknya sebuah ibukota, Jogja memikat kedatangan para kaum remaja dari seluruh penjuru tanah air yang ingin berpartisipasi dalam mengisi pembangunan negara yang baru saja medeka. Namun untuk dapat membangun suatu negara diperlukan tenaga-tenaga ahli, terdidik dan telatih untuk itulah yang melatar belakangin pemerintah RI mendirikan Universitas yang kita kenal dengan nama Universitas Gajah Mada, universitas Negeri pertama yang lahir pada masa kemerdekaan. Selanjutnya diikuti dengan berdirinya akademi di bidang kesenian (Akademi Seni Rupa Indonesia dan Akademi Musik Indonesia), serta sekolah tinggi di bidang agama Islam (Perguruan Tinggi Agama Islam Negr dan selanjutnya menjadi IAIN Sunan Kalijaga). Pada waktu itu bediri lembaga-lembaga pendidikan baik negeri maupun swasta sehingga hampir tidak ada cabang ilmu pengetahuan yang tidak diajarkan di kota ini. Hal ini menjadikan kota Jogja tumbuh menjadi kota pelajar dan pusat pendidikan. 

Dulu, sarana mobilitas paling populer di kalangan pelajar, mahasiswa, karyawan, pegawai, pedagang dan masyarakat umum pada adalah sepeda sehingga Jogya juga pernah dikenal sebagai kota sepeda yang kini sudah digantikan menjadi sepeda motor.

Yogyakarta pernah menjadi pusat kerajaan, baik Kerajaan Mataram (Islam), Kesultanan Yogyakarta maupun Kadipaten Pakualaman. Sebutan kota kebudayaan untuk kota ini berkaitan erat dengan peninggalan-peninggalan budaya bernilai tinggi semasa kerajaan-kerajaan tersebut yang sampai kini masih tetap lestari. Sebutan ini juga berkaitan dengan banyaknya pusat-pusat seni dan budaya. Sebutan kata Mataram yang banyak digunakan sekarang ini, tidak lain adalah sebuah kebanggaan atas kejayaan Kerajaan Mataram. Menurut sejarahnya Kesultanan Yogyakarta merupakan pecahan dari kerajaan Mataram yang pernah mencapai masa kejayaan dibawah pimpinan Sultan Agung (1613-1645). Namun intrik politik yang terjadi di dalam lingkungan kerajaan telah mengakibatkan terpecahnya kerajaan Mataram. Dalam pertengahan pertama abad ke-18 Mataram sampai tiga kali mengalami peperangan perebutan takhta yang akhirnya mengakibatkan terpecahnya kerajaan yang sudah sangat menciut wilayahnya karena digerogoti Belanda menjadi Kerajaan Surakarta yang diperintah Pakubuwono III dan Kerajaan Yogyakarta dipimpin Hamengkubuwono I, sebagaimana perjanjian Gianti tahun 1755. Dua tahun kemudian daerah Surakarta dibagi lagi antara Pakubuwono III dan Mangkunegoro I.

Yogyakarta dibangun oleh Pangeran Mangkubumi pada tahun 1755 dimana ia mendirikan Kraton Yogyakarta menyusul perselisihannya mengenai pembagian wilayah dengan saudara laki-lakinya Susuhunan Surakarta. Dia kemudian mengangkat dirinya sebagai sultan dengan gelar Hamengkubuwono yang berarti ‘alam semesta berada di pangkuan raja. Pada abad ke 17, Sultan Hamengkubuwono mampu menjadikan kerajaan yang dipimpinnya berkembang pesat sehingga menjadi sangat kuat. Namun puteranya ternyata kurang memiliki kecakapan sehingga pada masa pemerintahan kolonial, keraton Yogyakarta pernah dibekukan, Hamengkubuwono II diasingkan dan sebuah wilayah kerajaan yang lebih kecil yang diberi nama Paku Alam didirikan didalam wilayah kesultanan Yogya.

Bagi orang Jawa, Yogya adalah simbol perlawanan terhadap penjajah. Perang Jawa yang dipimpin Pangeran Diponegoro menentang Belanda (1825-1830) berlangsung di sekitar Yogyakarta. Pada masa revolusi kemerdekaan, Yogyakarta juga menjadi pusat perlawanan terhadap kaum kolonial. Ketika Belanda kembali ke Indonesia, sebagian wilayah kraton kemudian diubah menjadi Universitas Gajah Mada yang dibuka pada tahun 1946. Ketika Belanda menduduki Yogya pada tahun 1948, Sultan melakukan perlawanan dengan mengurung diri di dalam kraton menolak bertemu dengan penguasa Belanda, namun diam-diam ia tetap menerima para pejuang kemerdekaan di kratonnya dan menjadi penghubung antara Yogya dan pihak pejuang yang melakukan perang gerilya di luar kota. Belanda tidak berani menindak Sultan karena takut dengan kemarahan jutaan orang Jawa yang menghormatinya. Sementara itu Sultan mengijinkan para pejuang Indonesia menggunakan kraton sebagai markas perjuangan, jasa besar sultan ini menjadikan pemerintah Indonesia kemudian setelah kemerdekaan menganugerahkan status Daerah Istimewa kepada Yogyakarta.

Untuk lebih lengkapnya sobat bisa klik  di sini

Photobucket

Ping your blog, website, or RSS feed for Free
Feedage Grade C rated
Preview on Feedage: nail-art-polish-2012 Add to My Yahoo! Add to Google! Add to AOL! Add to MSN
Subscribe in NewsGator Online Add to Netvibes Subscribe in Pakeflakes Subscribe in Bloglines Add to Alesti RSS Reader
Add to Feedage.com Groups Add to Windows Live iPing-it Add to Feedage RSS Alerts Add To Fwicki