Showing posts with label Penilaian Hasil Belajar. Show all posts
Showing posts with label Penilaian Hasil Belajar. Show all posts

Sunday, September 4, 2011

PROSES BELAJAR MENGAJAR

A.     Pendahuluan
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) telah merobah paradigma pendidikan dari kegiatan guru menjadi orientasi kegiatan siswa, dan serta dari hafalan kepada kemmpuan aplikatif ke lingkungan kehidupan siswa.  Akibat dari perubahan ini telah berimplikasi pada arah pembuatan tujuan pembelajaran pada setiap pertemuan, materi ajar, pendekatan, serta sistem evaluasi.  Satu persatu disajikan pelaksanaannya dalam pembelajaran sejarah.

B.     KEGIATAN BELAJAR
1.      1.  Tujuan Pembelajaran Sejarah
Tahun 2006 menjadi tonggak perubahan kurikulum nasional dengan diluncurkannya Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Standar Isi (Permendiknas No. 22 Th. 2006) memuat tujuan setiap mata pelajaran, kemudian diikuti oleh Standar Kompetensi (SK) dan Kompetensi Dasar (KD). Mata pelajaran sejarah sebagai satu mata pelajaran yang diajarkan di sekolah menengah telah mengalami perubahan sebagaimana mata pelajaran lainnya. Hal ini terlihat dari tujuan pembelajaran Sejarah SMA sebagai berikut:
a.   Membangun kesadaran peserta didik tentang pentingnya waktu dan tempat yang menyebabkan sebuah proses dari masa lampau, masa kini, dan masa depan.
b.   Melatih daya kritis peserta didik untuk memahami fakta sejarah secara luas dengan didasarkan pada pendekatan ilmiah dan metode keilmuan.
c.  Menumbuhkan apresiasi dan penghargaan peserta didik terhadap peninggalan sejarah sebagai bukti peradaban bangsa Indonesia di masa lampau.
d.     Menumbuhkan pemahaman peserta didik terhadap proses terbentuknya bangsa Indonesia melalui sejarah yang panjang dan masih berproses hingga masa kini dan masa yang akan datang.
e.    Menumbuhkan kesadaran dalam diri peserta didik sebagai bagian dari bangsa Indonesia yang memiliki rasa bangga dan cinta tanah air yang dapat diimplementasikan dalam berbagai bidang kehidupan baik nasional maupun internasional.

Lima tujuan di atas dapat disederhanakan menjadi beberapa karakteristik, diantaranya berusaha membentuk siswa:
1.      Berfikir proses gerak perubahan.
2.      Berfikir logis tiga dimensi waktu (lampau, sekarang, dan akan datang).
3.      Berfikir kritis.
4.      Kesadaran terhadap nilai-nilai peninggalan sejarah serta menghargainya.
5.      Memiliki rasa bangga dan cinta tanah air

Setidaknya ada tiga dimensi yang ditugaskan kepada guru sejarah di sekolah. Dimensi pertama berkaitan dengan keterampilan berfikir, dimensi kedua berkaitan dengan pengembangan sikap, dan dimensi ketiga, berkaitan dengan pemahaman peristiwa masa lampau itu sendiri. Dimensi-dimensi ini akan tertuang dalam kegiatan belajar, sekurang-kurangnya akan mencapai SK dan KD yang telah ditetapkan dalam Standar Isi (Permendiknas No. 22 Th. 2006).

Kaitan tujuan pembelajaran dengan SK dan KD merupakan hirarkhi tujuan yang harus dicapai melalui pembelajaran. Guru mulai menetapkan indikator sebagai penunjuk keberhasilan yang dioperasionalkan dalam pembuatan tujuan pembelajaran.  Dengan kata lain, indikator dan tujuan pembelajaran yang masih dominan memakai kata kerja mendeskripsikan, mengidentifikasi, menjelaskan, mengklarifikasi, dan sebagainya, yang belum mampu untuk mengembangkan keterampilan berpikir anak.

Dari segi pembelajaran, tuntutan akhir dari tujuan diatas akan dapat tercapai bila kegiatan pembelajaran dilakukan melalui latihan berpikir dalam artian yang lebih spesifik. Melalui latihan berpikir ini akan berkembang berbagai keterampilan berpikir sejarah dan penerimaan nilai-nilai masa lampau. Keterampilan yang dapat dikembangkan diantaranya adalah menterjemahkan, menafsirkan, menerapkan, menghubungkan, menilai, menganalisis, dan menyimpulkan (Dennis Gunning, 1978).

Menerjemahkan berarti memberi arti pada suatu kata sehingga seseorang mengerti apa maksud kata tersebut dengan bahasanya sendiri. Kegiatan penerjemahan dilakukan terhadap konsep yang sedang dipelajari. Nyatanya dalam pembelajaran sejarah banyak sekali anak menemukan konsep-konsep, dan konsep-konsep tersebut  harus dipahaminya dengan arti sesuai dengan karakteristiknya. Untuk ini, tujuan pembelajaran harus diarahkan kepada pengertian konsep, seperti konsep “kehidupan, kerajaan, perang”, dan sebagainya.

Menafsirkan berarti memberi arti lain dari pemahaman fakta yang dipelajari, atau anak dapat memberi makna terhadap berbagai fakta. Suatu contoh, Sentot Ali Basya pada mulanya menjadi pimpinan pasukan Diponegoro, kemudian bergabung dengan pasukan Belanda yang memerangi pasukan Paderi. Untuk hal ini, dapat diminta pendapat anak mengenai pekerjaan tindakan Sentot tersebut.

Menerapkan adalah mengaplikasikan sesuatu pada kasus lain. Materi yang dapat digunakan untuk tujuan ini adalah materi pelajaran mengenai konsep ataupun sebab-akibat. Materi konsep dapat dicontohkan pada kehidupan sekarang karena konsep tersebut lintas waktu dan tempat. Seperti menerapkan konsep pahlawan pada seorang Lurah atau Kepala Desa, apakah Lurah atau Kepala Desa tersebut juga dapat disebut pahlawan? Jawaban iya atau tidak tergantung pada ciri-ciri fakta yang dibangun untuk konsep pahlawan tersebut.

Sedangkan materi sebab akibat dapat diterapkan ke kasus lain dengan memakaikan konsep yang mengantarai sebab dengan akibat. Seperti mempelajari sebab dikuasai wilayah Minang oleh penjajah, sebab antara adalah konflik kepentingan bersaudara antara Kaum Adat dengan Kaum Paderi. Sebab-akibat ini dapat diaplikasikan pada kehancuran dua orang bersaudara dalam memperebutkan  harta warisan dengan memakai jasa tenaga sewaan.

Menganalisis merupakan keterampilan menghubungkan berbagai komponen dengan sistematis dan logis. Keterampilan ini dapat digunakan antar konsep yang berelasi yang melahirkan sebab-akibat. Baik relasi antar peristiwa yang mendahuluinya atau berbagai peristiwa yang semasa atau sezaman. Unsur analisis dapat dilakukan dengan menemukan komponen kunci yang mengakibatkan mengapa sebab melahirkan akibat. Seperti menjelaskan hubungan antara kejatuhan Kerajaan Majapahit dengan masuknya pengaruh Islam di pantai utara Jawa.  Betapa banyak sebab-akibat dalam setiap gerak perubahan yang menjadi pusat perhatian dalam belajar, baik sebab diakronik maupun sebab sinkronik.

Sintesis merupakan penarikan kesimpulan dari berbagai peristiwa yang terjadi. Kesimpulan tersebut didapatkan melalui penarikan karakteristik yang sama dari berbagai peristiwa sehingga melahirkan suatu pola. Suatu contoh menemukan pola kehidupan masyarakat awal dunia di wilayah perairan sungai.

Penilaian merupakan tingkat berpikir tertinggi yang dimiliki seseorang. Nilai didasarkan oleh sejumlah kriteria pada karakteristiknya yang dimiliki oleh sesuatu. Umumnya dapat digunakan pada berbagai pendapat yang dibuat oleh seseorang. Seperti menilai pendapat antara Hatta dan Soekarno mengenai bentuk negara di awal kemerdekaan, manakah yang lebih bagus?

2.      Materi Sejarah
Secara umum, materi keilmuan terdiri dari unsur fakta, konsep, prinsip atau sebab-akibat, dan prosedur. Fakta diartikan sebagai sesuatu kejadian seperti apa adanya, ia dapat merupakan gerak atau aktivitas, bunyi, benda, bau, rasa, dan benda.  Artinya memungkinkan untuk dilihat, didengar, diraba, dirasa, atau dicium. Dalam khasanah keilmuan ia menjadi bahan mentah yang dikonstruk atau diolah oleh manusia menjadi konsep, sebab-akibat, dan bahkan ada yang berada pada tahap prosedur.

Sejarah sebagai bagian dari ilmu sosial juga memiliki karakteristik demikian.  Materi utamanya adalah fakta. Oleh karena sejarah memiliki rentangan waktu yang sangat panjang, maka mengenal faktanya cukup sukar, bahkan ada diantaranya hanya melalui bukti-bukti benda atau pisik seperti dalam masa pra-sejarah, ada yang melalui tulisan, dan akhirnya ada yang melalui memori atau kenangan seseorang. Fakta tersebut tidak akan bermakna bila tidak dikontruksi manusia atas beberapa bentuk, baik berupa pemaknaan, penafsiran, analisis, atau kesimpulan. Rentang waktu yang begitu jauh menyebabkan sebagian fakta diragukan kebenarannya, terutama yang didasarkan bukti-bukti benda disebut dengan fakta lunak. Semakin dekat ke masa sekarang semakin mudah menemukan fakta yang sesungguhnya, atau yang disebut dengan fakta keras.

Dalam mempelajari sejarah, pada hakekatnya membicarakan fakta dan pendapat pengarangnya. Di sini mulai terjadi berbagai problem, berawal dari fakta yang digunakan, apakah si pengarang menggunakan fakta lunak atau fakta keras, apakah dia menggunakan sedikit atau banyak fakta dalam menarik kesimpulan, apakah dia memiliki keterampilan yang cukup untuk membuat konsep, menafsirkan, memberi contoh, menganalisis, membuat kesimpulan dan sebagainya. Pada sisi lain harus diyakini bahwa ilmu apapun hanyalah bersifat kebenaran sementara, artinya benar untuk ukuran sekarang tetapi belum tahu untuk masa yang akan datang, terutama disebabkan oleh munculnya fakta baru yang memungkinkan kesimpulan bisa berubah.  Apalagi ilmu sejarah yang memiliki fakta jauh di masa silam, yang sangat terbuka kemungkinan terjadinya penemuan-penemuan fakta baru. Jika seorang guru sangat terfokus mengajar materi suatu buku maka tak lebih pekerjaannya sebagai “pemerkosa” pikiran anak untuk menghafal pendapat pengarang yang kebenarannya dapat berubah. 

Pada sisi lain, karakteristik materi sejarah direkontruksi dalam suatu gerak atau proses. Secara umum, gerak akan mengalami proses dari kelahiran, berkembang, bertahan, mundur, dan berakhir. Namun dalam kasus-kasus tertentu peristiwa sejarah berbagai pola gerak yang terjadi tidak sama, mungkin mulai dari lahir, bertahan, ataupun dalam berkembang terjadi suatu kemunduran, dan kemudian berkembang lagi. Perbedaan pola gerak ini sesuatu yang pantas, tetapi yang lebih penting diperhatikan adalah perubahan itu sendiri sebagai sesuatu yang karakteristik khususnya, meliputi bukti, tahun, tempat, pelaku, sebab, dan seterusnya.

Kehadiran KTSP mengingatkan kembali bahwa yang terbaik dilakukan oleh guru adalah melatih anak berpikir berdasarkan peristiwa-peristiwa masa lampau tersebut. Hasil nyata yang diperolehnya adalah terampil berpikir yang dapat digunakan untuk kehidupannya sehari-hari, bahkan dia dapat menjadi seorang sejarawan kecil

3.      Strategi dan Media Pembelajaran
Secara umum dikenal pendekatan pembelajaran atas pendekatan pemberian informasi dan penemuan informasi. Sesuai dengan karakteristik kurikulum KTSP telah menempatkan perubahan peran guru dari pemberi informasi menjadi pembimbing anak untuk menemukan informasi.  Untuk itu metode dominan ceramah harus ditukar ke arah metode diskusi, tanya jawab, praktikum  atau sejenisnya  yang memungkinkan anak berlatih mencari, menggali, menemukan sendiri, dan pada gilirannya mampu menerapkan dalam kehidupannya.

Faktor utama yang berperan atas kelangsungan proses belajar di atas adalah ketersediaan bahan ajar beserta media yang relevan. Berkaitan dengan ini, banyak definisi yang telah dikemukakan oleh para ahli tentang media, namun jika dikalsifikasikan perbedaan mereka terdapat pada titik pandang.  Umpamanya  Rossi dan Breidle (dalam Wina Sanjaya, 2007:161) mengemuakakan bahwa media  adalah seluruh alat dan bahan yang dapat dipakai untuk mencapai tujuan pendidikan, dan ada beberapa ahli lain menekankan pada perangkat keras (hardware) dan perangkat lunak (software). Perangkat keras adalah alat-alat yang dapat mengantarkan pesan seperti overhead projctor, radio, televisi, dan sebagainya.  Sedangkan perangkat lunak adalah isi program yang mengandung pesan seperti informasi yang terdapat pada transparansi atau buku dan bahan cetak lainnya, cerita yang terkandung dalam film atau materi yang disuguhkan dalam bentuk bagan, grafik, diagram, dan lain-lain.

Tujuan utama pemakaian media adalah agar pembeajaran  menjadi jelas dan efektif dan  membantu menjelaskan bahan lebih realistic (Hartono, dalam Depdiknas, 2005). Dengan demikian, salah satu tugas guru yang tidak kalah pentingnya adalah mencari dan menentukan media pembelajaran. Dalam pelajaran sejarah, mencari dan menentukan sumber belajar  sangat penting karena bahan ajarnya merupakan peristiwa masa lalu yang bersifat abstrak.

Disamping itu, menurut Nasution (1986:96) penggunaan media pembelajaran akan mengurangi verbalisme dan merupakan alat bantu yang dapat mempermudah proses penerimaan materi pelajaran yang disampaikan guru dan sudah barang tentu akan mempermudah pencapaian keberhasilan tujuan pembelajaran. Hal ini disebabkan siswa akan lebih termotivasi dalam mempelajari materi yang dibahas.
Depdiknas (2005) mengungkapkan bahwa secara klasik media pembelajaran dibagi berdasarkan jenis materinya, meliputi materi bacaan dan materi bukan bacaan.
Lebih lanjut Depdiknas (2005) mengemukakan bahwa para ahli (Edgar Dale, Burton, Romiszowski)  berbagai jenis media pembelajaran dengan kriteria yang berbeda-beda. Edgar Dale (1960) mengemukakan jenis media yang terkenal dengan istilah kerucut pengalaman, yaitu: 1) pengalaman langsung, 2) pengalaman yang diatur, 3) dramatisasi, 4) demonstrasi, 5) pameran, 6) pameran, 7) gambar hidup, 8) rekaman, radio, gambar mati, 9) lambang visual, 10) lambang verbal. Berdasarkan 10 pengalaman tersebut, dapat belajar dengan: mengalaminya secara langsung dengan melakukannya atau berbuat (nomor 1 s/d 5); mengamati orang lain melakukannya (nomor 6 s.d 8); dan membaca atau menggunakan lambang (nomor 9 s.d 10).

Hampir sejalan dengan Edgar Dale, Burton (dalam Nasution, 1989) membagi media berdasarkan pengalaman langsung dan pengalaman tidak langsung. Pengalaman langsung yaitu turut melakukan dan mengalaminya. Sedangkan pengalaman tidak langsung dilihat berdasarkan pengamatan langsung (seperti melihat peristiwa yang terjadi dan peristiwa yang dipentaskan), berdasarkan gambar (melihat film dan foto), berdasarkan lukisan (menggunakan peta, diagram, grafik dan sebagainya), berdasarkan bahasa (membaca uraian dan mendengar uraian), dan berdasarkan lambang seperti lambang istilah, rumus dan indeks.

Sedangkan Romiszowski (Depdiknas, 2005) mengemukakan bahwa media dapat diartikan dalam pengetian sempit dan pengertian luas. Dalam pengertian sempit, media meliputi sejumlah alat yang dapat digunakan secara efektif untuk proses pengajaran yang telah direncanakan. Sedangkan dalam pengertian luas, diartikan bukan hanya media komunikasi elektronik yang rumit malainkan juga mencakup sejumlah perangkat yang lebih sederhana sperti slide, photo, diagram, da chart buatan guru, benda-benda dan kunjungan ke tempat di luar sekolah. Bahkan guru pun dapat menjadi salah satu media presentasi seperti halnya radio dan televisi yang menyampaikan informasi.

Berdasarkan beberapa pendapat ahli di atas, dalam pembelajaran sejarah sangat besar arti penggunaan media, karena materi yang dibicaraan jauh dari dunia anak, terutama karena karakteristik materinya masa lampau. Dalam pembelajaran sejarah,  media sangat diperlukan untuk menkonkritkan fakta-fakta yang terletak pada setiap perubahan gerak sejarah.
Secara umum telah dikemukakan dari berbagai literatur bermacam-macam media yang dapat digunakan dalam pembelajaran sejarah, seperti peta, globe,  benda-benda peninggalan sejarah, diorama, gambar, slide, film strip, film bergerak, grafik, lukisan dan sebagainya. Namun pemilihan salah satu alat ini harus sesuai dengan fakta / peristiwa  yang ingin ditampilkan.

Dalam hal ini sejumlah fakta sejarah yang umumnya dikemukakan dalam suatu peristiwa  sejarah berkaitan dengan prilaku orang, pelaku, tempat, perubahan di bidang ekonomi, di bidang benda atau teknologi. Jika fakta yang ingin ditampilkan adalah tentang prilaku tidak ada jalan lain harus menggunakan media film.  Menunjukkan prilaku atau perubahan teknologi harus berupa gambar.  Untuk menunjukkan tempat tertentu atau wilayah kekuasaan dengan menggunakan peta, atlas, atau globe.  Sedangkan untuk menunjukkan perubahan pendapatan di bidang ekonomi lebih relevan menggunakan grafik.

Berdasarkan uraian di atas, banyak sekali media yang harus digunakan oleh guru sejarah agar pembelajaran berjaan dengan efektif, yaitu seluruh fakta yang terdapat pada setiap gerak sejarah seperti fakta pada gerak awal, perkembangan, mundur, dan habis.

4.      Evaluasi Pembelajaran
Banyak definisi yang dikemukakan para ahli tentang konsep evaluasi atau penilaian.  Namun dari beberapa definsi tersebut dapat disimpulkan bahwa penilaian pada dasarnya adalah menepatkan seseorang pada kedudukan tertentu sebagai bahan pertimbangan untuk mengambil keputusan.

Untuk itu, suatu penilaian harus berasal dari alat ukur yang  tepat, dapat dipercaya, dan memiliki kriteria yang jelas.  Dalam hal ini kita kenal istilah validitas, reliabelitas, standar PAN (Patokan Acuan Norma) dan PAK ( Patokan Acuan Kriteria).

Secara umum alat penilaian yang digunakan dibagi atas tes dan non tes. Tes diartikan suatu usaha yang dilakukan untuk mengukur kemampuan seseorang, seperti kemampuan kognitif, ketermapilan dan sebagainya.  Sedangkan Non Tes digunakan untuk mengetahui sikap dan prilaku seseorang, seperti sikap sebagai akibat dari pembelajaran,  atau prilaku seseorang dalam proses pembelajaran.

Dari segi cara mengkomunikasikan, tes dibedakan atas tes tertulis dan tes lisan.  Bentuk tes tertulis seperti tes essay, dan objektif ( pilihan ganda, betul-salah, mengisi titik-titik, menjodohkan, pilihan ganda berganda, hubungan sebab-akibat, dsb). Namun yang sering dipakai di sekolah-sekolah dewasa ini adalah tes objektif pilihan ganda dan tes uraian.

Sedangkan pada bidang non tes yang sering digunakan adalah skala sikap, rating scale, format penilaian proyek, format penilaian produk, format penilaian produk,  dan daftar check List.

Pada sisi lain, kurikulum yang berlaku sekarang (kurikuum KTSP) menuntut dilakukan penilaian kelas.  Penilaian kelas diartikan sebagai suatu usaha untuk mendapatkan gambaran siswa secara kontiniutas dan komprehensif.  Kontiunitas berarti berkelanjutan secara terus menerus setiap waktu, sedangkan komprehensif bermakna mencakup seluruh aspek kompetensi siswa yang terdiri dari proses belajar, kawasan kognitif, afektif, dan psikomotor.

Penilaian proses belajar berkaitan dengan paradigma bahwa dalam kegiatan belajar kegiatan utama terletak pada siswa, siswa yang secara dominan berkegiatan beajar mandiri dan guru hanya melakukan pembimbingan.  Dalam konteks ini guru harus memantau berbagai kesukaran siswa dalam proses belajar tersebut setiap pertemuan. Sedangkan untuk mengukur hasil belajar dilakukan ulangan harian, tengah semester, dan akhir semester.

Pada dasarnya, penilaian kelas mempunyai fungsi dan kegunaan sebagai berikut:
1.    Alat penilaian disusun dalam rangka menciptakan kesempatan bagi siswa untuk memperlihatkan kemampuannya.
2.   Laporan kemajuan belajar siswa merupakan sarana komunikasi dan sarana kerja sama antara sekolah dan orang tua, yang bermanfaat bagi kemajuan belajar siswa maupun pengembangan sekolah.

Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa ciri penilaian kelas adalah sebagai berikut
1.      Proses penilaian merupakan bagian integral dari proses pembelajaran
2.      Strategi yang digunakan mencerminkan kemampuan anak secara autentik
3.  Penilaiannya menggunakan acuan patokan atau criteria. Hal ini dilakukan untuk mengetahui ketercapaian kompetensi siswa.
4.      Memanfaatkan berbagai jenis informasi
5.      Menggunakan berbagai cara dan alat penilaian.
6.      Menggunakan system pencatatan yang bervariasi
7.      Keputusan tingkat pencapaian hasil belajar berdasrkan berbagai informasi
8.      Bersifat holistis, penilaian yang menggabungkan aspek kognitif, afektif, dan psikomotor.

Di samping ujian, ada berbagai bentuk dan teknik yang bisa dilakukan dalam penilaian kelas, yaitu penilaian kinerja (performance), penilaian penugasan (proyek atau project), penilaian hasil kerja (produk atau peoduct), penilaian tertulis (paper dan pen), penilaian portopolio (portfolio), Checklist, dan penilaian sikap.

Tindak lanjut dari penilaian proses pembelajaran ( jika memperoleh hasil yang kurang memuaskan) dilakukan Penelitian Tindakan Kelas ( PTK).  Berarti seorang guru berusaha mendiagnosa penyebab kesukaran anak didik dalam proses belajar tersebut, pada gilirannya menemukan suatu cara seagai solusi permasalahan tersebut. Inilah yang menjadi cikal bakal PTK bagi seorang guru. Berbeda halnya dengan kegiatan ujian, jika seorang guru menemukan anak didik tidak memenuhi kriteria yang telah ditetapkan pada KKM (Kriteria Ketuntasan Minimal) maka solusinya adalah melakukan pembelajaran remedial.

Pengembangan alat ukur untuk penilaian proses ini pada dasarnya sama dengan pembuatan kisi-kisi pada pembuatan soal ujian.  Langkah utama adalah menetapkan indikator pencapaian. Suatu contoh dalam pembelajaran sejarah menggunkan model struktur, indikator yang dapat digunakan adalah menemukan gerak perubahan peristiwa, menemukan fakta setiap gerak perubahan dalam bacaan, membuat konsep  untuk setiap fakta, menemukan sebab-sebab setiap terjadi perubahan,  melakukan analisis setiap hubungan sebab terhadap perubahan, memberikan contoh atau meramal, dan menemukan nilai.  Berdasarkan indikator-indikator ini dikembangkan deskriptor sesuai dengan materi pelajaran yang sedang dipelajari. Untuk keperluan ini dibuat tabel sebagai berikut:

Materi Pembelajaran : Kerajaan Majapahit








NoINDIKATORDESKRIPTOR
1Menemukan fakta
1. Fakta berdiri Kerajaan Majapahit
2. Fakta perkembangan  Kerajaan Majapahit
3. Fakta mundur Kerajaan Majapahit
4. Fakta runtuh Kerajaan Majapahit
2Membuat Konsep
1. Konsep dari fakta berdiri Kerajaan Majapahit
2. Konsep dari fakta perkembangan  Kerajaan Majapahit
3. Konsep dari fakta mundur Kerajaan Majapahit
4. Konsep dari fakta runtuh Kerajaan Majapahit
3Menemukan Sebab
1. Sebab  dari berdiri Kerajaan Majapahit
2. Sebab dari perkembangan  Kerajaan Majapahit
3. Sebab dari  mundur Kerajaan Majapahit
4. Sebab dari  runtuh Kerajaan Majapahit
4Menganalisis
1. Sebab  dari berdiri Kerajaan Majapahit
2. Sebab dari perkembangan  Kerajaan Majapahit
3. Sebab dari  mundur Kerajaan Majapahit
4. Sebab dari  runtuh Kerajaan Majapahit
5Memberi Contoh
1. Sebab  dari berdiri Kerajaan Majapahit
2. Sebab dari perkembangan  Kerajaan Majapahit
3. Sebab dari  mundur Kerajaan Majapahit
4. Sebab dari  runtuh Kerajaan Majapahit
6Menemukan Nilai
1. Konsep dari fakta berdiri Kerajaan Majapahit
2. Konsep dari fakta perkembangan  Kerajaan Majapahit
3. Konsep dari fakta mundur Kerajaan Majapahit
4. Konsep dari fakta runtuh Kerajaan Majapahit

Tabel pengembangan instrumen di atas, dikembangkan atas format Instrumen dengan membuang kolom Indikator, dan kemudian menambah dengan kolom Tally, seperti berikut ini:
                         
                                Intrumen Pengamatan Proses Pembelajaran
                                                 Kerajaan Majapahit

Materi Pembelajaran : Kerajaan Majapahit








NoPernyataanTally
1
1. Fakta berdiri Kerajaan Majapahit
2. Fakta perkembangan  Kerajaan Majapahit
3. Fakta mundur Kerajaan Majapahit
4. Fakta runtuh Kerajaan Majapahit

2
1. Konsep dari fakta berdiri Kerajaan Majapahit
2. Konsep dari fakta perkembangan  Kerajaan Majapahit
3. Konsep dari fakta mundur Kerajaan Majapahit
4. Konsep dari fakta runtuh Kerajaan Majapahit

3
1. Sebab  dari berdiri Kerajaan Majapahit
2. Sebab dari perkembangan  Kerajaan Majapahit
3. Sebab dari  mundur Kerajaan Majapahit
4. Sebab dari  runtuh Kerajaan Majapahit

4
1. Sebab  dari berdiri Kerajaan Majapahit
2. Sebab dari perkembangan  Kerajaan Majapahit
3. Sebab dari  mundur Kerajaan Majapahit
4. Sebab dari  runtuh Kerajaan Majapahit

5
1. Sebab  dari berdiri Kerajaan Majapahit
2. Sebab dari perkembangan  Kerajaan Majapahit
3. Sebab dari  mundur Kerajaan Majapahit
4. Sebab dari  runtuh Kerajaan Majapahit
6
1. Konsep dari fakta berdiri Kerajaan Majapahit
2. Konsep dari fakta perkembangan  Kerajaan Majapahit
3. Konsep dari fakta mundur Kerajaan Majapahit
4. Konsep dari fakta runtuh Kerajaan Majapahit

             Berarti, seorang guru telah siap dengan seperangkat prnyataan yang siap digandakan untuk setiap siswa sebagai dasar Check List dalam kegiatan pembelajaran. Setelah dilakukan pengambilan data, lantas guru mengolah hasil lapangan ini untuk mengetahui apakah bagian terbesar siswa memiliki kesukaran, seterusnya untuk dilanjutkan menjadi PTK.

            Untuk pembuatan soal ujian yang baik harus membuat langkah persiapan yang matang dan menggunakan kaidah Bahasa Indonesia yang standar. Di bidang persiapan meliputi; pemilihan materi, pemilihan prilaku, penyebaran soal, dan pembuatan kisi-kisi.  

            Di bidang materi, idealnya lebih dominan menguji materi Prinsip, karena pada materi prinsip tersebut juga terkandung fakta dan konsep.  Dalam artian ini, anak didik tidak akan mampu menjawab prinsip seandai ia tidak menguasai konsep dan fakta.  Begitu juga di bidang prilaku, sebaiknya guru membuat soal-soal yang menuntut anak didik memberikan contoh, analisis, sintesis, ataupun evaluasi agar sesuai dengan tuntutan kurikulum KTSP. 

            Faktor berikut yang harus menjadi perhatian adalah keterwakilan materi, pada dasarnya jangan tertinggal materi pertemuan tertentu pada suatu naskah soal, apakah ulangan harian, semester, atau akhir semester. Lebih lanjut dibuat suatu tabel kisi-kisi yang mencerminkan secara utuh SKKD, kelas, materi, indikator, bentuk soal,  dan nomor soal setiap indikator.

            Bagian kedua yang sering terabaikan dalam pembuatan soal dewasa ini adalah pemakaian Bahasa Indonesia yang baku.  Untuk ini, beberapa hal yang penting berkaitan dengan:

  1. Penulisan Huruf Besar

a.       Setiap awal pokok soal (stem)
b.      Pada awal obtion, jika:
1)      Jika stem diakhiri tanda tanya (?)
2)      Jika stem diakhiri kata seru (!)
c.       Jika obtion berbentuk kalimat, peribahasa, atau tema satu bacaan
d.      Setiap awal nama orang, dan  kota

2.      Pemakaian Huruf Kecil
            Pada awal obtion ( terkecuali spt disebutkan terdahulu)

2.      Pemakaian Tanda Tanya
a.       Tanda tanya dipakai pada akhir stem atau obtion yang berbentuk pertanyaan
b.      Setelah tabda tanya (?) atau tanda seru (!) tidak diperkenankan memberi tanda titik (.)

3.      Pemakaian Titik  (.)
a.       Jumlah titik pada akhir stem sebanyak   empat. Tiga untuk teks (obtion) dan       
                satu  menandai akhir kalimat
b.      Jumlah titik pada isian tengah kalimat  sebanyak tiga buah
c.       Dipakai pada akhir obtion bila:
1)      Obtion berbentuk kalimat atau   peribahasa
2)      Stem diakhiri tanda tanya atau tanda  seru

4.      Pemakaian Garis Bawah
a.       Untuk nama buku, majalah dan surat  kabar yang dikutip
b.      Pada penekanan maksud soal
c.       Pada kata “tidak atau bukan” pada stem yang berbentuk   negatif
d.      Pada kata “kecuali”, jika dipakaikan pada   stem
e.       Pada kata “ sebab”, soal yang berbentuk hubungan antar hal

5.      Tanda Koma
a.       Sebelum kata “sebab” pada soal hubungan antar dua hal
b.      Sebelum kata “kecuali” pada stem

6.      Tanda Petik
a.       Untuk mengapit kalimat atau memperjelas   maksud soal pada stem
b.      pembicaraan langsung yang berasal dari pembicara pada kalimat tidak langsung

7.      Kata Tersebut
            Tidak dipakai dalam stem, dan diganti dengan di atas atau di bawah

8.      Kesatuan Kata
a.       Nama harus ditulis utuh
b.      Frase / kata jamak harus ditulis utuh

9.      Kata di, ke, dari, me
a.       terpisah sebagai kata depan
b.      serangkai dengan kata pada, mari, luar
c.       serangkai bila diiringi kata kerja 

10.  Kata Pun
a.       ditulis terpisah bila diiringi oleh kata kerja,  ganti, benda, dan sifat
b.      ditulis serangkai bila diiringi kata yg   berlawanan

A.     RANGKUMAN
Tujuan pembelajaran sebagai dasar dan patokan dalam pemilihan materi, pendekatan , media dan alat evaluasi menuntut konsistensi  antar setiap komponen tersebut.  Pada dasarnya tujuan yang dikembangkan untuk setiap pertemuan dalam belajar sejarah bermuara pada arah pemahaman gerak peristiwa, pembentukan berpikir kritis, kemampuan memberikan contoh, dan penanaman nilai. Kesemua tuntutatn ini lebih menuntut materi prinsip, media setiap fakta, dan penilaian berbasis kelas yang dilakukan terhadap proses pembelajaran dan ulangan  yang memenuhi standar pengembangan dan penulisan yang ilmiah.

Thursday, September 1, 2011

PEMBELAJARAN INOVATIF

A.     Pendahuluan
Profesi guru tidak pernah diam dari tuntutan perubahan dan pembaharuan, pada suatu sisi ia membuat suatu masyarakat menjadi berubah tetapi pada sisi lain perubahan masyarakat menuntut perbaikan kinerja guru itu sendiri.  Untuk itu, guru yang ideal adalah guru yang senantiasa melakukan inovasi terhadap kerja keprofesionalannya, terutama berkaitan dengan tugas pengajaran di sekolah.  Salah satu usaha yang dilakukan adalah memilih atau model-model pembelajaran yang sesuai dengan tuntutan kurikulum yang sedang berlaku.

B.     Kegiatan Belajar
1.      Konsep Dasar Pembelajaran Inovatif
Berangkat dari konsep inovatif, sejumlah usaha perubahan harus dilakukan  oleh seorang Guru Sejarah. Demikian cepatnya perubahan di sekitar kita, tidak mungkin lagi mengandalkan cara-cara lama dalam pembelajaran, bahkan masih terdapat  sejumlah guru masih mengajar dengan cara-cara yang dilakukan oleh gurunya ketika dia belajar dahulu. Untuk keperluan perubahan ini, pada tahap awal para guru memiliki motivasi dan sikap ingin berubah (Huberman dan Miles, 1984:43), tidak pernah merasa puas, berusaha bekerja profesional dan sebagainya, sehingga ia mendapatkan sesuatu yang baru, karena inti dari pengertian inovasi itu sendiri adalah adanya perubahan untuk menemukan yang baru (Ibrahim, 1998:46). Atau seperti yang dikemukakan oleh Callahan dan Clark (1977: 6) bahwa guru harus memiliki sikap kreatif. Kreatif dalam artian merespon berbagai perubahan yang ada, karena setiap adanya perubahan akan selalu diiringi oleh berbagai cara untuk melaksanakannnya (Ruddock, 1991).

Perubahan yang dimaksudkan di atas utamanya dengan perubahan kurikulum KTSP, dimana terdapat karakteristik yang melekat pada kurikulum tersebut, terutama berkaitan dengan belajar kontekstual dan anak didik sebagai subjek pembelajaran.  Guru sejarah harus mampu menghidupkan roh peristiwa masa lampau  yang dipelajari siswa ke kehidupan nyata yang ada di sekitar anak mereka. Berarti materi sejarah bukan untuk masa lampau tetapi untuk masa sekarang dan masa yang akan datang yang bermanfaat bagi kehidupannya sehari-hari.  Sedangkan perpindahan paradigma dari orientasi guru kepada orientasi kebutuhan anak didik diartikan bahwa aktivitas belajar didominasi oleh siswa, guru hanya sebagai pembimbing atau sebagai fasilitator.

Menanggapi perubahan yang terjadi di atas harus diikuti oleh berbagai perubahan pada kegiatan pembelajaran sehari-hari. Jika ditelusuri lebih jauh ternyata perubahan itu diantaranya disebabkan oleh adanya kesadaran seseorang terhadap kekurangan cara yang dimilikinya (Soejono Soekanto, 1990:355). Cara yang dimaksudkan di sini berkaitan langsung dengan tugas guru seperti dalam kegiatan belajar mengajar, mulai dari penetapan tujuan pembelajaran, pemilihan materi ajar, pemilihan pendekatan, media, metode, dan sistem penilaian. Seperti yang dikemukakan oleh (Ibrahim, 1988) bahwa inovasi yang dilakukan oleh seorang guru lebih ditekankan pada kegiatan mengajar, karena ia diserahi tugas dan wewenang  mengelola kegiatan belajar untuk mencapai tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan. Dalam konteks ini kegiatan guru lebih dari pekerjaan seorang profesional umumnya, karena ia dituntut bukan hanya ahli pada bidangnya tetapi juga harus mampu mengelola pembelajaran dalam lingkungan manusia yang serba berubah (Klasen dan Collier, 1972:12).

Dalam artian ini, para guru berusaha mencari model-model yang relevan, sehinga setiap komponen pembelajaran sejarah berjalan secara efektif, yang pada gilirannya akan tercapai tujuan yang telah ditetapkan. Model-model tersebut dapat diadopsi dari model lain atau menemukan sendiri model yang diyakini lebih efektif. Namun yang harus dipahami oleh guru dalam setiap pemakaian model pembelajaran tidak serta merta menjadi efektif karena ia akan berkorelasi dengan suasana lain, seperti yang dikemukakan oleh Saltman (dalam Ibrahim, 1998:48), batas suatu inovasi akan dipengaruhi oleh:
a.       Tingkat pembiayaan, semakin susah tingkat pembiayaan semakin mudah diterima.
b.      Seimbang antara biaya yang dikeluarkan dengan hasil yang diperoleh.
c.       Efisiensi, artinya dapat menghemat waktu dan tidak banyak memiliki hambatan.
d.      Tidak memiliki resiko, terutama dengan masalah politik dan keamanan.
e.       Mudah dikomunikasikan.
f.        Sesuai dengan sosial ekonomi setempat.
g.       Dapat dibuktikan secara ilmiah.
h.       Terasa langsung manfaatnya.
i.         Tingkat keterlibatan penerimaan inovasi.
j.        Hubungan interpersonal.
k.     Berazaskan kepentingan.
l.         Peranan agen (penyuluh) inovasi

Karena siswa sebagai manusia yang memiliki sejumlah karakteristik di bidang ekonomi, budaya, kemampuan, dan status sosial, maka pendapat Saltman yang dikemukakan di atas sebaiknya menjadi pijakan utama dalam pemilihan atau pembuatan suatu inovasi.

Pemberian salah satu ide atau aktivitas tersebut disusun dalam suatu kerangka yang jelas disebut dengan model.  Atau dengan kata lain model adalah suatu kerangka konseptual yang digunakan sebagai pedoman dalam melakukan suatu kegiatan.  Dalam pembelajaran, model dapat diterjemahkan sebagai suatu usaha untuk melukiskan prosedur dan langkah-langkah yang sistematis dalam rangka mencapai tujuan pembelajaran.

Di bidang pembelajaran terdapat sejumlah model, pada dasarnya dapat dikategorikan atas pendekatan pembelajaran pemprosesan informasi, pendekatan pembelajaran individu, pendekatan belajar sosial, dan pendekatan pembelajaran sistem prilaku (Agus Irianto, 2007: 2). Pada sisi lain, berbagai model yang telah dibuat ahli tersebut dapat dijadikan sebagai sumber inspirasi sendiri untuk menemukan ide-ide baru dalam pembuatan model. Pada gilirannya guru menemukan suatu model yang paling praktis untuk kegiatan pembelajaran sesuai dengan kondisi sekolah, siswa, kebijakan pimpinan, dan kemampuan sendiri.

Yang perlu disadari bahwa suatu model berimplikasi kepada seluruh komponen pembelajaran,  berangkat dari tujuan pembelajaran  akan berlanjut kepada materi,  pendekatan (metode dan media) serta sistim penilaian. 

2.      Model Pembelajaran
Sebagaimana telah dikemukakan pada bagian pendahuluan bab ini bahwa berbagai model alternatif perlu diupayakan dalam rangka mencarikan solusi ketidakpuasan terhadap model pembelajaran yang ada. Sejalan dengan perkembangan KTSP banyak model pembelajaran aternatif yang ditawarkan. Diantaranya adalah:  Examples Non-Examples, Picture and Picture, Numbered Head Together, Student Teams-Achievement Division (STAD), Jigsaw, Problem Based Introduction, Mind Mapping, Make-A Match, Think Pair and Share, Debate, Role Playing, Group Investigation, Talking Stick, Commute Couple, Snowball Throwing, Student Facilitator and Explaining, Course Review Horay, Demonstration, Explicit Instruction, Cooperative Integrated Reading and Composition (CIRC), Inside-Outside-Circle, Word Square, Scramble, Take and Give, Consepsentense, Time Token, Pair Cheks, Bamboo Dance, Two Stay Two Stray, dan lain-lain.

Berkaitan dengan pembelajaran Sejarah yang memiliki krakteristik yang berbeda dari bidang keilmuan lain, maka model pembelajaran yang akan digunakan juga harus disesuaikan dengan karakteristik tersebut. Berikut disajikan beberapa model pembelajaran sejarah yang diyakini mampu untuk merobah pola mengajar dari orientasi guru dan masa lampau kearah keterampilan berpikir yang bermanfaat untuk anak didik dalam kehidupannya sehari-hari. Namun konsep dasar yang harus dipegang adalah bahwa setiap model pembelajaran memiliki kelemahan dan keandalan, karena itu tidak satupun model yang dianggap terbaik, tetapi tergantung pada tujuan dan kondisi masing-masing. 

a.      Model Pembelajaran Struktur
Model ini merupakan pengembangan dari Teori Jerome. S. Bruner. Dia mengemukakan bahwa tiap mata pelajaran atau disiplin ilmu memiliki struktur tertentu.  Struktur itu terdiri atas konsep-konsep pokok, bila struktur itu dikuasai maka banyak hal yang dapat dipahami maknanya. Memahami struktur itu akan mempengaruhi cara berpikir seseorang sepanjang hidupnya, karena dapat ditransfer pada hal-hal lain (S. Nasution, 1992: 3).

Dalam ilmu sejarah, yang menjadi struktur utama adalah pola gerak.  Gerak memiliki sejumlah atribut, mulai dari arah atau prosesnya, fakta yang mendukungnya, tempat, waktu, dan pelaku, serta sebab terjadinya gerak tersebut.  Seperti mengajarkan Kerajaan Majapahit, struktur gerak akan meliputi mulai berdiri, berkembang, bertahan, mundur, dan habis.  Setiap gerak ini memiliki sejumlah fakta yang yang membangun  komponen-komponen gerak itu sendiri, yang selalu diiringi oleh tempat, waktu, dan pelaku. Setiap gerak bukan terjadi secara kebetulan, melainkan karena ada sebab sebelum dan sebab sesaat.

Model ini sangat bermanfaat untuk melatih anak berpikir proses, kritis, kemammpuan contoh, dan menemukan nilai- nilai. Berpikir proses diartikan sebagai suatu upaya anak menemukan bagaimana proses perkembangan kerajaan atau peristiwa lain  mulai dari lahir  sampai berakhir. Berpikir kritis dapat dilakukan karena setiap gerak membutuhkan pertanyaan-pertanyaan mengenai; apa buktinya, dimana terjadi, kapan terjadi, siapa pelakunya,  mengapa bisa terjadi, dan mengapa suatu sebab melahirkan suatu perubahan?
Kegiatan belajar yang dilakukan guru mencakup tiga langkah:
1.      Pembukaan
Meliputi pemberian appersepsi, pennyampaian  tujuan dan manfaat pembelajaran, dan sebagainya.
2.      Kegaiatan Inti
a.       Eksplorasi
Pemberian atau pengenalan umum dari materi yang akan dipelajari, serta siswa disuruh membaca buku teks atau bahan ajar yang ada
b.      Elaborasi
Pada bagian ini, siswa secara berkelompok / individu bekerja berdasarkan bacaannya untuk :
1)      Menemukan pola gerak perubahan peristiwa yang sedang dipelajari.
2)      Menemukan fakta sebagai bukti dari perubahan setiap gerak peristiwa.
3)      Membuat konsep dari setiap fakta perubahan.
4)      Menemukan sebab atau akibat dari peristiwa yang terjadi.
5)      Melakukan analisis hubungan setiap  sebab melahirkan perubahan.
6)      Memberikan contoh ke masa sekarang atau meramal ke masa yang akan datang dari setiap sebab- akibat terjadinya peruahan.
7)      Menemukan nilai-nilai dari konsep-konsep yang dipelajari.
8)      Secara acak, kelompok atau individu menampilkan hasil pekerjaannya dan sekaligus tanggapan dari siswa yang lain
c.       Konfirmasi
Guru melakukan pembetulan dan penegasan-penegasan berbagai kesalahan atau kekurangtepatan yang dilakukan siswa
3.      Penutup
a.       Pembuatan kesimpulan
b.      Penyampaian tugas rumah
c.       Penyampaian materi minggu berikutnya
d.      Dsb

Disamping model ini, banyak lagi model yang telah dikembangkan untuk pembelajaran sejarah, seperti berikut ini:

b.      Model Pembelajaran Konsep
Model ini juga merupakan turunan dari Teori Bruner. Menurut Bruner, anak sebelum belajar telah memiliki konsep sendiri dikepalanya. Untuk itu tugas seorang guru adalah membimbing anak untuk mengerti konsep yang dipelajari sesuai dengan konsep ilmiah. Setiap konsep memiliki banyak perbedaan mengenai aktivitas manusia, baik dalam bidang politik, ekonomi, dan kebudayaan. Konsep sering diartikan berbeda, membuatnya sukar membentuk suatu gambaran yang bertalian secara logis. Bagaimanapun, guru harus sadar bahwa siswa telah memiliki konsep dalam kepalanya yang diterima dari lingkungan dan kadangkala tidak sesuai dengan disiplin ilmu sejarah. Pada hal dalam kajian sejarah sebagian besar isinya mengenai konsep, jika kita lupa memperhatikan siswa, maka mereka sering mendapatkan konsep yang salah yang bisa membuat mereka frustasi belajar.

Penting untuk diingat bahwa memahami konsep-konsep, seperti koloni, pasar, atau migrasi membutuhkan suatu aturan. Konsep-konsep substantif dalam sejarah berasal dari banyak disiplin, namun setiapnya menunjukkan suatu pengelompokan. Seperti Revolusi Amerika, merupakan suatu pengelompokkan kejadian dan proses,  tidak karena dia satu konsep, tetapi karena dia merupakan suatu keseluruhan yang lebih besar dari pada sebuah nama.

Konsep-konsep substansif dalam sejarah jarang ditemukan dalam kehidupan sehari-hari, perubahan maknanya melampaui waktu dan tempat.  Seorang raja abad ke 18 tidak sama dengan raja abad 15, atau raja abad 21. Jika siswa berpikir bahwa para raja tersebut memiliki prilaku, kekuasaan, dan peran yang sama, menimbulkan konsep yang keliru. Konsep-konsep bukan ditetapkan dengan kaku, seperti kapsul yang tertutup. Kita tidak bisa mengharapkan siswa mempelajari definisi dan contoh khusus dan kemudian secara sederhana mempraktekkannya terhadap kasus yang lain.

Ketika para siswa belajar mengenai orang-orang Pilgrim menemukan kota penduduk asli Amerika yang ditinggalkan, beberapa orang siswa menafsirkan bahwa orang-orang Pilgrim datang ke tempat yang bagus, karena mereka secara cepat menemukan tempat kediaman dalam beberapa bangunan yang kosong.

Contoh lain, penelitian menemukan bahwa orang berbeda dalam memahami pengembangan konsep politik dan ekonomi. Dalam bidang ekonomi (uang, laba, bank, properti, dan kemakmuran) para siswa cenderung berubah dari ide-ide yang didasarkan pada norma moral ke ide-ide ekonomi. Anak-anak yang lebih muda cenderung memikirkan bahwa pengusaha  membuat orang bahagia dan akan disenangi, tetapi semakin besar umur siswa cenderung dimaknai bahwa bank menjanjikan laba. Demikian banyak ilustrasi di atas yang menunjukkan bahwa banyak faktor yang membuat komunikasi terganggu akibat berbagai kesalahan konsep.

Di dalam pembelajaran sejarah banyak sekali konsep-konsep yang harus dimengerti anak sesuai dengan bidang-bidang keilmuan yang dipelajarinya, seperti konsep Antropologi pada sejarah kebudayaan, konsep Politik pada materi sejarah politik, konsep-konsep Ekonomi pada materi sejarah ekonomi, dan seterusnya. Pemahaman yang sempurna bagi siswa sangat penting karena setiap disiplin ilmu tersebut memiliki konsep diri yang berlaku standar, padahal materi sejarah berkaitan dengan materi ilmu sosial lain tersebut.

Pemilihan penggunaan model belajar konsep lebih tepat digunakan jika tujuan pembelajaran bersifat aplikatif, terutama dalam mengembangkan sejarah tiga dimensi. Donovan (2005:61) mengemukakan bahwa ada tiga jenis konsep yang terletak pada materi sejarah, pertama adalah konsep topik materi yang diajarkan itu sendiri, yang dikenal dengan Big Concept, kedua adalah konsep gerak atau yang disebut dengan Midle Concept, dan ketiga adalah konsep kata yang tak dapat terhindarkan sewaktu membicarakan materi, yang disebut dengan Small Concept.

Aplikasinya dalam pembelajaran adalah; pertama kali guru harus mendudukkan makna konsep topik mata pelajaran, seperti mengajarkan tentang pengaruh budaya Hindu di Indonesia. Dalam hal ini harus dibahas tentang konsep kebudayaan, dan selanjutnya budaya Hindu sendiri. Pada tahap kedua guru harus menjelaskan konsep perkembangan gerak perubahannya. Perkembangannya di Indonesia dimulai dari konsep masuk, apa yang dimaksud dengan kata masuk, lantas berkembang, apa yang dimaksud dengan kata berkembang. Tahap ketiga menetapkan konsep yang terpakai dalam pembelajaran, seperti candi, patung, strata, dan sebagainya. Sekaligus mengaplikasikannya ke situasi nyata sekarang, dengan mengambil contoh pada lingkungan anak sendiri.


c.       Model  Kronologis
Model ini lebih menekankan pada tahun-tahun penting, tetapi bukan berarti model ini berisi jejeran tahun-tahun. Mulai dari perkembangan umum sampai tahun-tahun perkembangan khusus. Model ini pada dasarnya sama dengan model pembelajaran struktural, namun penekanannya terletak pada tahun-tahun perkembangan itu sendiri. Contoh, kita dapat mengajarkan bagaimana pengaruh asing di Indonesia sejak dari dahulu sampai sekarang, mulai dari tahun pengaruh perkembangan Cina ke Indonesia, India, Islam, Eropa, dan pengaruh lainnya. Pengaruh tersebut dapat di pisah lagi atas topik atau sub-topik setiap pengaruh tersebut yang mengalami perkembangan pula. Seperti tahun perkembangan pengaruh Cina di Indonesia pada masa pra-sejarah.

Model kronologis ini lebih sesuai digunakan pada tujuan yang bersifat melihat deskripsi perkembangan di masa lampau. Pemakaian model konsep atau tematis yang berlebihan dapat menghilangkan karakteristik sejarah itu sendiri.  Hal ini juga pernah terjadi di Inggris sebelum tahun 1997, dimana para siswa sangat pintar berargumentasi tentang berbagai peristiwa masa lampau, tetapi waktu ditanyakan kapan terjadi peristiwa tersebut, rata-rata mereka tidak bisa menjawab (Terry Hydn, dkk, 2008:93).

Sebagai suatu ilustrasi, beberapa kegiatan yang pernah dilakukan guru sejarah di Inggris berikut ini digambarkan sebagai ide yang dapat dikembangkan.  Pertama, catatan waktu dapat dibuat dari bawah ke atas. Manfaat dari cara ini adalah  membantu siswa untuk mengerti alur waktu dan bagaimana waktu dipenggal. Contoh, siswa dilatih menuliskan apa yang mereka kerjakan dalam suatu rentangan hari sekolah, mengembangkannya menjadi catatan mingguan.

Kedua, catatan waktu bisa dibuat menjadi lebih komplek dengan memperkenalkan sebutan SM dan M. Catatan waktu bisa dipusatkan pada suatu periode spesifik, seperti Abad Pertengahan, masa Aufklarung dan sebagainya. Cara lain untuk mengerjakannya adalah menulis serangkaian waktu pada potongan-potongan kertas, dan memberikannya kepada siswa secara individu yang berdiri di depan kelas. Yang lainnya menyusunnya dalam susunan waktu. Untuk membuatnya lebih mudah, buat potongan-potongan ke dalam bagian seperti kartu jigsaw sebagai salah satu model pembelajaran kooperatif. Catatan waktu bisa membuat minat belajar lebih kelihatan. Pada permulaan suatu topik, anda dapat membuat suatu blanko catatan waktu , mendiskusikan kronologi waktu dan cara yang ditandai waktu.

Model lain dengan menggunakan Inquiry mengenai sebab dan konsekwensi, membuat kisi-kisi daftar pertanyaan. Tetapkan fokus materi anda, umpamanya “Apa yang menyebabkan Spanyol melakukan invansi ke Inggris pada saat itu?” Jika siswa memberikan argumentasi, siswa tersebut ditantang untuk mengemukakan bukti, dan kemudian tanyakan apa yang terjadi pada waktu-waktu berikutnya.

Contoh lain dilakukan dengan menanyakan bagaimana kekuatan uap mampu merubah Inggris? Dalam kasus ini kisi-kisi membutuhkan dua kolom, satu untuk sebelum kekuatan uap, dan satu untuk setelahnya. Siswa diberi panduan dengan beberapa kategori, seperti transpor, industri, dan seterusnya, atau menyuruhnya untuk memutuskan kategorinya sendiri.

Inquiry bukanlah suatu hal yang spesifik; para siswa sekolah dasar nyatanya bisa meneliti bagaimana perbedaan Inggris pada akhir periode PM Margareth Tacher, tetapi mereka hanya berbeda pada titik pandang, ada yang melihat kondisi kota, ada yang melihat bidang transportasi, bangunan-bangunan dan sebagainya. Ilustrasi ini menunjuukaan bahwa untuk belajar kronologi telah dapat dilakukan pada semua tingkatan anak.

Dengan demikian, langkah-langkah pembelajarannya bertolak dari berbagai peristiwa. Baik guru atau siswa memetakan tahun-tahun secara kontinuitas, kemudian memberi makna pada setiap tahun penting seperti menemukan sebab, mencari hubungannya dengan peristiwa lain, menemukan tempat kejadian dan sebagainya. Terakhir menyusun cerita sejarah bedasarkan kronologis urutan waktu tersebut.


d.      Model Tematis
Model ini lebih menekankan pada tema-tema pokok yang menjadi perhatian guru, seperti penekanan pada kehidupan ekonomi pada kerajaan Majapahit. Guru mengajak anak untuk menelaah berbagai bentuk dan jenis kehidupan masyarakat pada masa pemerintahan raja-raja Majapahit di bidang ekonomi. Proses pembelajaran berkisar pada menelaah konsep ekonomi dengan melatih anak mencari dan mengumpulkan fakta serta membuat kesimpulan. Pembahasan berorientasi pada keluasan materi (bukan pada proses) dan peninjauan secara luas pada berbagai disiplin ilmu, seperti membahas peran letak geografis terhadap pertanian masyarakat, letak wilayah dengan keterkaitan pelayaran, membahas pertanian masyarakat dengan kaitannya pada sistim pemerintahan, budaya masyarakat, dan seterusnya pada aspek sosial dan sejarahnya. Kajian tematis ini lebih menekankan pada pendekatan interdisipliner. Pembelajaran seperti ini lebih pantas digunakan pada tujuan-tujuan yang bersifat sintesis serta terdapat ketersediaan fakta materi yang cukup banyak. Langkah pembelajaran yang dilakukan adalah penyediaan sumber dan materi pembelajaran dalam jumlah yang banyak/lengkap. Melakukan berbagai diskusi dan analsis terhadap berbagai gejala yang ada serta kaitannya dengan kemajuan ekonomi kerajaan, dan akhirnya membuat kesimpulan.

e.      Model  Regresif
Model ini dapat dipakai dalam pembelajaran sejarah karena asumsi dasarnya bahwa apa yang terjadi sekarang hakikatnya sudah ada di masa lampau dan menjadi pelajaran di masa sekarang. I Gde Widja (1989:36) mengemukakan bahwa model ini digunakan dalam pembelajaran dengan mengambil gejala di masa sekarang kemudian diruntut materinya ke belakang dengan persoalan yang sama. Asumsi belajarnya bahwa anak akan lebih senang belajar dari suasana kontekstual yang kongkrit saat ini kemudian diruntut kepada masa lampau yang lebih abstrak.

Lebih lanjut I Gde Widja menjelaskan bahwa mungkin terjadi distorsi kontinuitas atau ketidak cocokan konsep antara masa sekarang dengan masa yang lampau tersebut. Meskipun demikian model ini telah memberi pengaruh banyak dalam penanaman nilai-nilai pada siswa. Melalui belajar regresif setidaknya dapat membuat perbandingan, seperti penanaman nilai pengorbanan terhadap negara. Dengan mengambil contoh prilaku anak sekarang, membandingkannya dengan masa Orde Baru, Orde Lama atau bahkan zaman penjajahan, semakin terasa bahwa generasi muda sekarang kurang memiliki nilai-nilai pengorbanannya. Atau seperti dalam mengajarkan peranan mahasiswa dalam politik. Kita bisa membahas dari unjuk rasa atau demonstrasi yang dilakukan mahasiswa sekarang, lalu dilihat bagaimana wujudnya dimasa Orde Baru, zaman Orde Lama, zaman awal kemerdekaan, seterusnya ke masa penjajahan.

C.     Rangkuman
Banyak faktor yang mendorong guru sejarah melakukan pembaharuan pengajarannya, baik ditinjau dari segi jabatan profesionalnya, maupun dari tuntutan perkembangan dunia pendidikan. Permasalahan tuntutan dunia pendidikan berawal dari paradigma perubahan peran guru, dari seorang pengajar dan menjadi sumber ke  arah pembimbingan siswa, menjadikan anak yang kreatif dan belajar sendiri. Untuk itu, berbagai model pembelajaran yang digunakan berorientasi kepada pengembangan keterampilan mereka.

Setidaknya terdapat enam keterampilan berpikir yang dapat dikembangkan melalui pembelajaran sejarah; yaitu keterampilan pemberian makna, menafsir, memberi contoh, menganalisis, membuat kesimpulan, dan melakukan penilaian.  Untuk mewujudkan keterampilan ini harus berbarengan dengan berbagai keterampilan yang terletak pada materi sejarah itu sendiri, seperti berpikir kritis, proses, tiga dimensi waktu , dan pengembangan nilai-nilai.

Diantara model pembelajaran yang relevan dengan ini adalah model pembelajaran struktur, konsep, kronologis, tematis, dan regresi.  Model-model ini dapat dipilih dan disesuaikan dengan tujuan, perbedaan latar belakang siswa, dan ketersediaan sarana prasarana.

Ping your blog, website, or RSS feed for Free
Feedage Grade C rated
Preview on Feedage: nail-art-polish-2012 Add to My Yahoo! Add to Google! Add to AOL! Add to MSN
Subscribe in NewsGator Online Add to Netvibes Subscribe in Pakeflakes Subscribe in Bloglines Add to Alesti RSS Reader
Add to Feedage.com Groups Add to Windows Live iPing-it Add to Feedage RSS Alerts Add To Fwicki